Degradasi Moral Pancasila Selama Pesta Demokrasi


2019 merupakan hari kedaulatan bagi seluruh rakyat Indonesia yang disebut, “Pesta Demokrasi” seharusnya pada ini menjadi pesta kemenangan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Karena sesuai dengan apa itu arti demokrasi, demokrasi adalah pemerintahan hak warga negara untuk memilih serta  pengambilan keputusan untuk merubah kehidupan mereka,  maka pesta demokrasi seharusnya menjadi suka cita dan harapan baru bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sesuai dengan amanat UUD 1945, pasal 22 ayat 2, Indonesia telah melaksanakan pemilihan umum pada tanggal 17 April 2019 kemarin. Pada hari tersebut diwarnai pemilihan legislatif  (Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) terkhusus pemilihan presiden yang sangat meriah dengan persaingan ketat dari kedua calon yang berkontestasi memperebutkan kursi nomor 1 di negeri ini yang sebelumnya sudah bersua pada periode sebelumnya.
Banyak jurus dan siasat yang dijalankan oleh masing-masing tim sukses untuk meraih suara dan simpati masyarakat. Namun di antara kampanye-kampanye yang dilakukan, seakan-akan lebih efektif Black Campaign untuk meraup suara rakyat dengan beredarnya hoaks (berita palsu) dan ujaran kebencian yang sangat kuat terasa di antara dua kubu.
Pancasila yang merupakan weltanschauung (pandangan dunia) seharusnya menjadi landasan moral yang artinya dalam berperilaku harus mengedepankan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan, termasuk juga dalam berpolitik. Bahkan, dalam buku Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi yang dikeluarkan oleh Kemenristek Dikti, disebutkan bahwa sumber politis Pancasila dapat digali dari Local Wisdom. Artinya, nilai-nilai Pancasila tersbut sudah ada dalam diri masing-masing masyarakat Indonesia dari masa ke masa, bahkan sebelum nama Pancasila itu sendiri ada.

Politik identitas sebagai asuransi kepentinggan.
Politik yang diterapkan di Indonesia harusnya adalah politik yang sopan dan santun serta berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Masyarakat yang sangat antusias dengan diselenggarakannya pemilihan umum tidak lain dan tidak bukan adalah hanya ingin kesejahteraan bagi mereka. Bagaimana mereka dapat bekerja dan berpenghasilan layak, berkarya yang dapat diakui serta mendapatkan pendidikan yang layak bagi anak-anak mereka. Harapan-harapan itu datang menyongsong visi-misi dari kedua pesaing politik dan harapan itu disandarkan pada mereka.
Namun harapan-harapan itu seolah-olah hanya menjadi bingkaian-bingkaian kata yang sangat indah didengar atau bahkan dipajang di setiap sudut kampanye yang mereka lakukan. Hal ini karena yang sangat terasa dari perdebatan-perdebatan yang terjadi, entah melalui media cetak, televisi atau media sosial. Kepentingan-kepentingan dari kelompok yang sedang memperebatkan kekuasaan di negeri ini sangat berpengaruh. Landasan-landasan pemikiran yang dibawa oleh para elite politik ini bahkan ada beberapa yang sangat jelas tidak memperhatikan Pancasila, atau bahkan menganggap Pancasila tidak sesuai dengan markah yang akan diambil oleh mereka.
Contohnya, ada beberapa partai politik yang sangat condong dengan libertarianisme dan sangat “mendewakan” kebebasan individu dengan wacana-wacana yang secara brutal dikampanyekan lewat media. Ada lagi partai politik yang ideologi islamnya sangat tinggi dan cenderung ingin memaksakan hukum islam agar berlaku dan diterapkan di Indonesia.
Keadaan ini benar-benar telah melukai Pancasila karena seseorang yang terlalu berambisi secara pribadi tidak akan melakukan kewajiban keadilan bagi segenap masyarakat Indonesia, tetapi akan jauh dari nilai kemanusiaan adil dan beradab, dan ini sangat bertentangan dengan Pancasila.

Ancaman terhadap persatuan Indonesia.
Pemilihan umum yang seharusnya menjadi Pendidikan politik bagi seluruh lapisan masyarakat, malah menjadi wadah doktrinisasi politik negatif bukan politik positif. Sepanjang masa kampanye, fitnah, ujaran kebencian serta berita-berita palsu menjadi senjata yang sangat ampuh untuk mangais pundi-pundi suara masyarakat yang hal ini juga menyebabkan pertentangan.
Ternyata selama masa kampanye, antara tahun 2018-2019, lebih dari 122 orang ditangkap karena kasus ujaran kebencian dan lebih dari 500 hoaks beredar yang berhasil diidentifikasi oleh kominfo. Merebaknya Black Campaign ini tidak lepas juga dari beberapa tokoh politik serta tokoh masyarakat yang menyebarkan pandangan politik pragmatis terhadap masyarakat. Bahkan arah pandang masyarkat diarahkan untuk selalu melihat dan menilai kekurangan dari masing-masing calon. Pola pikir negatif ini jika dilanjutkan sangat tidak baik bagi kelanjutan dunia perpolitikan di Indonesia.
Anjuran-anjuran beberapa pemuka agama juga signifikan pengaruhnya kepada cara pandang masyarakat dalam cara memilih calon pengemban amanah kepemimpinan Indonesia. Kata-kata seperti “Pilih yang mudaratnya paling sedikit” seolah-olah menyuruh masyarakat menggali dan menelusuri mudarat dari para calon. Tentu hal inilah yang menimbulkan maraknya kampanye hitam di kalangan masyarakat. Akhirnya, yang terjadi adalah saling tuduh antarmasyarakat dan timbulnya kecurigaan terhadap calon-calon yang sedang berkontes. Bahkan pernah suatu ketika saat debat terbuka calon presiden, istilahnya “curhat”, bahwa mereka dituduh menerapkan ideologi asing di Indonesia.
Sekali lagi, kejadian ini memperlihatkan bahwa apa yang terjadi dalam tahun politik kali ini melukai nilai Pancasila. Beredarnya rasa curiga antarmasyarakat dan sangat fanatik terhadap pilihan politik mereka membuat persatuan di negeri seperti sedang memudar.
Pemilihan umum yang seharusnya menjadi tonggak pendidikan politik alami bagi masyarakat malah menjadi penyulut perpecahan di antara masyrakat sendiri. Berdasarkan kasus-kasus yang ada, pada tahun ini, pesta demokrasi ini benar-benar telah terjadi apa yang namanya degradasi moral Pancasila di kalangan masyarakat kita.
Karena, menurut Hatta, kelima sila yang ada berangkaian, tidak sendiri-sendiri. “Mengamalkan satu berarti wajib mengamalkan lainnya, meniadakan satu berarti menafikan lainnya.” Jika ada penyimpangan terhadap salah satu sila saja, berarti hal tersebut telah menistakan ajaran Pancasila.
Oleh karena itu, perlu adanya rekonstruksi moral Pancasila dan revitalisasi Pancasila pasca pemilihan umum ini dilaksanakan oleh pihak-pihak yang berkuasa di bidangnya agar amanat para Founding Fathers bangsa ini yang tertuang dalam Pancasila, bukan hanya manis di kata-kata atau hanya sebatas verbalisme.
Bahkan, pada akhir-akhir ini, di era milenial, Pancasila hanya boleh dibilang barang antik warisan masa lampau yang hanya ada untuk dikenang, bukan dihayati dan dilaksanakan sebagaimana dasar negara yang mulia.

0 Response to "Degradasi Moral Pancasila Selama Pesta Demokrasi"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel